Yang telah terkubur dalam, biarkan isak berlalu di antara himpitan malam.
Dulu, jauh sebelum kejadian ini bermula, kematian saya percayai sebagai sesuatu yang bisa ditunda, bisa diselamatkan. Tidak salah memang. Hampir bertahun-tahun, dokter memvonis usia saya tidak lah lama dikarenakan kondisi paru-paru yang sedemikian parahnya. Apapun itu, banyak keberuntungan, juga peran medis dan obat-obatan, membantu saya untuk sembuh, dan pasca itu, tubuh yang saya miliki berbeda dari anak-anak yang lain. Kepercayaan ini lah yang membuat saya terpuruk ketika yang tidak kekal dan tidak terselamatkan, berlalu dengan cepat, hanya dalam waktu kurang dari dua bulan. Terhitung sejak pesan terakhirnya di bulan Desember 2012, empat bulan tepat saya pindah dari rumah ke Jogja, dengan pesan singkatnya kala itu, “aku istirahat dulu ya.”
Dalam radius satu meter, henpon saya hancur berkeping-keping, suasana malam yang mencekam, serta kebingungan di masa depan mendadak menghampiri tanpa ada celah untuk bersembunyi. Yang saya inginkan saat itu hanya lah satu, bahwa apa yang sedang saya baca adalah: ilusi.
Beberapa teman saya kontak satu per satu, hanya untuk meyakinkan kematian Ino adalah berita bohong. Nihil. Semua berkata Ino benar-benar telah meninggal dan dimakamkan di kampung halamannya di Balikpapan. Kekecewaan pun datang bertubi-tubi, bahwa yang saya hadapi adalah nyata, bukan ilusi. Ino meninggal karena penyakit kanker kelenjar getah bening yang juga baru dia ketahui dan seketika drop di rumah sakit. Sempat menjalani perawatan kurang dari satu minggu, dan pergi.
Dan kematian Ino merupakan awal dari yang-nyata telah berhenti.
Hampa dan maya mengitari seluruh rekaman memori sensorik atas apa yang terjadi. Delapan tahun berselang, bukan hal yang mudah memang. Jika dulu saya hanya perlu Ino untuk merealisasikan sesuatu, sekarang, saya perlu lebih dari 5 orang untuk mewujudkan itu! Seseorang yang memporak-porandakan dan di saat yang bersamaan membangun ke-diri-an saya. Dari seorang anak kampung yang hanya menghabiskan waktu untuk belajar berhitung demi lomba matematika dan IPA, berubah drastis menjadi anak bahasa dan gemar berdebat dengan guru. Dari saya yang merasa kecil ketika diikutsertakan lomba teater berbahasa jerman dan mesti melawan sekolah internasional di Jogja, menjadi percaya diri dengan naskah yang saya buat hanya dalam waktu kurang satu hari. Itu pun, tokoh utama bernama Marsinah, nama yang juga saya dapatkan sebulan saat berdiskusi dengan Ino terkait Gerakan buruh. Ino juga yang melatar-belakangi mengapa pada akhirnya saya kuliah, daripada menjadi seniman di Jakarta. Ino berjanji, “nanti aku temenin. Aku bakal pindah ke Jogja, tapi kalau kamu udah satu tahun kuliah ya.” Tidak hanya meninggalkan kesan, Ino telah menanamkan kesan itu, dalam dan erat.
Mungkin, ini lah yang membedakan mengapa satu kematian dengan kematian yang lain tidak lah sama. Ada yang mudah untuk dilalui, ada yang teramat sesak untuk dilalui. Dua kali kesempatan mengunjungi makam Ino, di tahun 2016 dan 2020, rasa sesak masih saja menjadi pintu yang, mau tidak mau, perlu saya buka ketika menyambangi sebuah rumah yang berdinding ingatan dan perayaan tentang Ino. Saya tau bahwa hidup harus tetap berjalan, betapapun teman-teman baik mencoba menyelamatkan saya dari jurang bernama kesendirian, kematian Ino terletak pada inti kesadaran saya yang tertinggi; bahwa hidup tidak lah kekal, dan bisa jadi, kematian merupakan sesuatu yang tidak lagi bisa ditunda, tidak bisa lagi diselamatkan. Betapapun keberuntungan dan bantuan itu didapati.